Demokrasi
: pilihan yang terbaik dari yang terburuk, mungkin pepatah ini terlihat benar. Saya sebagai mahasiswa antropologi, mengkaitkannya dengan
perspektif budaya yang digaungkan oleh para antropolog. Demokrasi, pada
hakikatnya memang sebuah bentuk pemerintahan yang menjembatani kebebasan
manusia dalam menjalani kehidupannya. Hal ini terkait dengan asas musyawarah
mereka dan pengambilan suara terbanyak. Hal ini menjelaskan pada dasarnya
demokrasi menyadari bahwa manusia memiliki hak memberikan suara dalam
kehidupannya dan menjaminnya secara utuh tanpa ada paksaan. Oleh karenanya,
dalam praktik bernegara, banyak Negara yang percaya dengan demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan Negara mereka.
Demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah
pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir
semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah
memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya
pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang
dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat
manusia.Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini
selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses
demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga
hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar
hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di
dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara
yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi
adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak
Terkait
dengan perspektif budaya di antropologi, Demokrasi dalam antropologi dipandang
sebagai media bagi terwujudnya cita-cita multikulturalisme. Hal tersebut karena
demokrasi menjamin adanya kesempatan untuk berdiskusi antar agama, suku, ras,
dan gologan tanpa ada tekanan didalamnya.
Hal itu tentunya akan mewujudkan sinergisasi tiap lini kehidupan bermasyarkat
yang nantinya menciptakan masyarakat madani yang penuh toleransi. Para
antropolog memandang bahwa demorasi dapat memuluskan cita-cita ideal mereka,
yakni multikulturalisme. Dengan berdirinya suatu Negara demokrasi, para
antropolog meyakini bahwa Negara tersebut akan cepat berkembang dalam hal
persatuan tiap-tiap insan yang hidup didalamnya. Demokrasi sendiri bukannya
berdiri tegap tanpa musuh. Segelintir pemikir Ideologi kiri seperti sosialisme
ataupun komunisme, memandang bahwa demokrasi hanyalah sebuah bentuk
pemerintahan yang merupakan bentuk halus dari penerapan ideologi kapitalisme,
dikarenakan sistem kebebasan yang merupakan jalan mulus bagi kepentingan para
kapitalis untuk melebarkan sayapnya diranah demokrasi. Namun biarlah
pandangan itu menjadi penyelaras kehidupan berpolitik yang sudah tentu identik
dengan persaingan.
Saya
sendiri memiliki pandangan berbeda dengan ranah pendidikan yang sedang saya
tempuh (antropologi) tentang demokrasi. Bagi saya pribadi memang demokrasi
adalah sebuah bentuk pemerintahan yang ideal bagi sebuah Negara. Namun pada
praktiknya, demokrasi sendiri memiliki kelemahan dalam praktiknya. Demokrasi
menciptakan sebuah kebebasan yang tentunya menciptakan juga potensi kesenjangan
dalam pratiknya. Kesenjangan dimulai, ketika suara mayoritas yang bergerak oleh
karena hasil musyawarah, kebanyakan (di Indonesia) di suarakan oleh kaum-kaum
berkepentingan yang jauh dari kategori memikirkan rakyat, padahal sesungguhnya
itulah asas dasar demokrasi. Dari suara mayoritas itulah tercipta sebuah
kapitalisme terselubung yang dibungkus keindahan berdemokrasi. Dan hal tersebut
yang menyebabkan stratifikasi sosial dengan kesenjangan yang cukup pekat
terlihat dan kemiskinan masih tetap bertahan di tengah agungnya
demokrasiDemokrasi, juga praktiknya dalam Negara Indonesia, belum pernah
menciptakan suatu idealisme masyarakat madani yang selama ini didambakan. Dari demokrasi
banyak tercipta pelanggaran hak yang semestinya tidak terjadi di dalamnya.
Seperti demokrasi pancasila yang digaungkan rezim Soeharto yang pada praktiknya
tidak sama sekali menggambarkan demokrasi oleh karena pemotongan sendi-sendi
berdemokrasi, seperti hak berpendapat.
Bagi
saya, demokrasi tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena saya juga mengakui
arti penting pengakuan hak seseorang seperti yang tertanam dalam doktrin
antropologi, yaitu multikulturalisme dan harmonisasi dalam hubungan sosial. Saya
hanya menilai, dalam praktiknya, demokrasi belum sepenuhnya terjalankan dengan
baik oleh Negara yang menggunakannya sebagai sistem pemerintahan. Hal ini
mungkin terkait dengan pengertian asas kebebasan yang bertanggung jawab yang
belum sepenuhnya dimaknai benar oleh para praktisi demokrasi. Sebuah
pelaksanaan dari sebuah sistem menjadi kata kunci kesuksesan sistem tersebut.
Demokrasi mungkin telah menjadi yang terbaik dari yang terburuk dalam teorinya,
namun masih banyak penyimpangan dalam praktiknya.
Demokrasi
mungkin akan terasa sempurna jika para praktisinya mengerti hakikat “dari
rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Pelaksanaan
yang sesuai dengan cita-cita ideal demokrasi menjadi jalan lurus terciptanya
sebuah demokrasi yang sehat. Sebagai contoh, dengan penanaman nilai pancasila
pada praktik demokrasi, Negara Indonesia yang notabene Negara demokrasi yang
terbilang muda, akan dapat menyampaikan cita-cita rakyatnya, yakni keadilan
sosial bagi seluruh rakyatnya. Dari hal pelaksanaan itulah, kita dapat melihat
sebuah perjalanan lurus Negara berbentuk demokrasi menuju cita-cita yang ideal,
yakni masyarakat yang madani. Kembali lagi, kesadaran praktisi demokrasi akan
menentukan apakah demokrasi itulah yang terbaik dari yang terburuk dalam aspek
pelaksanaannya. Saya yang secara pribadi kurang begitu menyukai bentuk
demokrasi tidak menutup diri terhadap suatu harapan akan keadilan social dari
sebuah bentuk pemerintahan yang bebas bertanggung jawab. Saya tetap melihat
sisi positif dari bentuk pemerintahan ini, yakni penghargaan hak hidup
seseorang yang tak terdapat di ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme.
Blog pada wordpress.com
No comments:
Post a Comment