Sunday, 30 September 2012

Rene Descartes

René Descartes (IPA: ʀəˈne deˈkaʀt; lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am)
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan kalkulus modern.
Ia juga pernah menulis buku Sekitar tahun 1629 yang berjudul Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajagan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.

Karya Filsafat

Pengetahuan yang Pasti

Karya filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni adanya pertentangan antara scholasticism dengan keilmuan baru galilean-copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan.
1.Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukan kayu lurus kedalam air maka akan nampak bengkok
2.Fakta umum tentang dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
3.Logika dan Matematikaprinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu mahluk yang berkuasa memasukan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matrix.
Dari keraguan tersebut, Descrates hendak mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada.
Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental ( res cogitans ) bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis descrates melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa tuhan dan benda-benda itu ada.

Ontologi Tuhan dan Benda

Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa tuhan ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.
Descrates mendasarkan akan adanya tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang tuhan adalah suatu mahluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya, yakni tuhan.
Setelah membuktikan adanya tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia menyatakan bahwa tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada. Bahkan tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu pikiran manusia, itu berarti tuhan adalah penipu, dan bagi descrates penipu ialah ketidaksempurnaan. Padahal tuhan ialah mahluk yang sempurna, oleh karena itu tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.

Metafisika

Bagi Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Takni benda material yang terbatas(objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia,dsb), benda mental-non material yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).
Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru yang di bawa galileo dan copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.
Namun, dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrim, baginya benda hidup selain manusia(cth:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti mesin.

Thursday, 27 September 2012

Penggalan Dialog Socrates


Socrates merupakan tokoh dari jaman Yunani kuno yang dikenal akan kebijaksanaannya. Kisah berikut merupakan salah satu cerita akan kebijaksanaan Socrates…
Pada suatu hari, Socrates bertemu dengan seorang yang sebenarnya tidak begitu akrab dengannya. Tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba orang tersebut langsung mengajak ngobrol Socrates, …
“Wahai Socrates, tahukah engkau tentang kabar si X temanmu? Biarkan aku ceritakan kepadamu tentang kabar itu”, orang tsb langsung mengawali percakapan dengan Socrates.
Socrates dengan tenang langsung menanggapi obrolan orang tsb dengan pertanyaan balik, “Sebentar wahai saudaraku. Sebelum engkau memberitahuku kabar temanku, ijinkan aku untuk mengajukan pertanyaan kepadamu. Aku sebut hal ini dengan nama ujian tiga saringan, jika engkau bisa melewati ketiga saringan tsb maka aku bersedia mendengar ceritamu”
“Ujian tiga saringan? Seperti apakah ujian tsb wahai Socrates?”, dengan penuh bingung orang tsb pun bertanya.
Sambil tersenyum, Socrates pun melanjutkan pembicaraannya “Baiklah, mari kita mulai saja dengan pertanyaan pertama …”
UJI KEBENARAN:
“Pertanyaanku yang pertama adalah apakah engkau benar-benar yakin dan percaya dengan kebenaran berita yang ingin engkau sampaikan itu?”, Socrates pun mulai mengajukan pertanyaan pertamanya.
Dengan cepat dan masih penuh bingung orang tsb menjawab, “Tidak wahai Socrates. Sama sekali aku tidak tahu kabar yang aku ketahui ini benar atau tidak karena aku hanya mendengarkannya dari mulut ke mulut”
“Waduch … ternyata engkau sendiri tidak yakin akan kebenaran berita tsb. Lalu kenapa engkau ingin memberitahukan padaku suatu berita yang belum pasti? Tapi tidak apa wahai saudaraku, aku masih ada dua pertanyaan lagi yang mungkin bisa membuatku mau mendengar berita tsb.”, dengan bijaksana Socrates meneruskan pembicaraannya.
UJI KEBAIKAN:
“Sekarang mari kita coba pertanyaan kedua wahai saudaraku. Apakah berita yang kamu bawa itu mengandung nilai-nilai kebaikan?”, Socrates melanjutkan pertanyaan yang selanjutnya.
“Maaf Socrates, untuk kali ini aku hanya membawa kabar yang kurang baik tentang kawanmu.”, dengan wajah penuh penyesalan orang tsb memberikan jawabannya.
“Mmmm… saudaraku, ternyata engkau ingin memberitahukan padaku tentang berita kurang baik akan kawanku yang engkau sendiri tidak yakin benar akan kebenaran berita tsb. Tapi tidak apa-apa wahai saudaraku karena kadang sesuatu yang kurang baik dan tidak jelas pun masih memberikan manfaat untuk kita.”
UJI KEBERMANFAATAN:
“Nach, kebermanfaatan itulah yang menjadi pertanyaan terakhirku. Apakah berita yang engkau bawa memberikan manfaat untukku wahai saudaraku?”, Socrates pun mengajukan pertanyaan terakhirnya.
Setelah sedikit berpikir, orang tsb pun memberikan jawaban “Mmmmmm … menurutku berita yang aku bawa ini tidak akan memberikan manfaat apapun untukmu wahai Socrates.”
“Begini wahai saudaraku. Sebelumnya aku mohon maaf jika aku untuk saat ini tidak bersedia mendengarkan kabar yang engkau bawa. Untuk apa aku mendengarkan beritar kurang baik tentang temanku jika berita tsb tidak akan memberikan manfaat apapun untukku, apalagi kebenaran dari berita tsb juga tidak jelas.”, Socrates pun menutup pembicaraan dan langsung pergi …

Filsafat Kontemporer


           Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata : philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Orang Yunani senang akan kebijaksanaan yang selalu diarahkan kepada kepandaian secara teoretis dan praktis. Kepandaian yang bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan ide yang tentunya sejalan dengan cara pikir mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu.
Berbicara mengenai ilmu maka tidak akan terlepas dari filsafat. Semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan terbagi menjadi beberapa periode sejarah yang setiap periodenya memiliki ciri khas masing-masing. Periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari peradaban Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Renaissance, Zaman Modern, dan Kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut:
  1. Yunani Kuno
    Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahyul yang irrasional.
  2. Zaman Pertengahan
    Pada masa ini, para ilmuwannya hampir semua adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah berkaitan dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama.
  3.  Zaman Renaissance
    Renaissance berarti lahir kembali (rebirth), yaitu dilahirkannya kembali sebagai manusia yang bebas untuk berpikir. Zaman ini menjadi indikator bangkitnya kembali independensi rasionalitas manusia, karena sudah tercatat banyaknya penemuan spektakuler, seperti teori heliosentris oleh Copernicus, yang merupakan pemikiran revolusioner, dan kemudian didukung oleh Johanes Kepler (1571 – 1630) dan Galileo Galilei (1564 – 1642).
  4. Zaman Modern
    Dikenal juga sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan tokoh utama, yaitu Rene Descartes (1596 – 1650) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern, Spinoza (1633 – 1677), dan Leibniz (1646 – 1716). Descartes memperkenalkan metode berpikir deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu alam.
  5. Kontemporer
    Zaman Kontemporer dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat Barat kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi. Akan tetapi bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan paling banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta.
            Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.
  1. PRAGMATISME
Aliran ini sangat terkenal di Amerika Serikat. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Kelompok ini bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk – bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka berpendapat bahwa filsafat pada masa lalu telah keliru karena mencari hal – hal yang mutlak, yang ultimate.
Tokoh yang terpenting dalam aliran ini adalah William James (1842-1910). Pragmatisme pertama kali diumumkan dalam sebuah kuliah di Berkeley pada tahun 1898, berjudul “Philosophical Conceptions and Practical Results”. Sumber-sumber lanjutan mengenai pragmatisme disampaikan di Wellesley College pada tahun 1905, Lowell Institute, dan Columbia University pada tahun  1906 dan 1907.
Pragmatisme yang muncul dalam bukunya terbagi menjadi enam hal : temperamen filosofis, teori kebenaran, teori makna, holistik tentang pengetahuan, pandangan metafisika, dan metode penyelesaian sengketa filosofis.
James memandang pemikirannya sebagai kelanjutan dari empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan atas fakta – fakta lepas sebagai hasil pengamatan. Tetapi, kebenaran merupakan suatu proses, suatu ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh akibat – akibat atau hasil dari ide tersebut. Oleh karena itu, kebenaran baru menjadi sesuatu yang real setelah melalui verifikasi praktis.
  1. VITALISME
Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis.
Henri Bergson
Tokoh terpenting dalam vitalisme adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20. Meskipun ketenaran secara internasional cukup tinggi selama masa hidupnya, tetapi setelah Perang Dunia kedua pengaruhnya mengalami penurunan. para pemikir Perancis, seperti Merleau-Ponty, Sartre, dan Levinas secara eksplisit mengakui pengaruhnya terhadap pemikiran mereka. Mereka pada umumnya sepakat bahwa Gilles Deleuze (1966) Bergsonism, menandai kebangkitan secara luas serta meningkatnya minat dalam karya Bergson. Deleuze menyadari bahwa kontribusi terbesar Bergson bagi pemikiran filsafat adalah konsep keanekaragaman. Filsafat Bergson merupakan dualistik: dunia mengandung dua kecenderungan yang berlawanan: gaya hidup (Elan vital) dan perlawanan dari dunia materi terhadap gaya. Manusia dapat mengetahui masalah dengan kepandaiannya. Mereka merumuskan doktrin ilmu pengetahuan dan melihat hal-hal yang ditetapkan sebagai unit terpisah di dalam ruang. Hal yang berlawanan dengan kepandaian adalah intuisi, yang berasal dari naluri yang lebih rendah. Intuisi memberi kita isyarat dari gaya hidup yang melingkupi semua hal. Intuisi merasakan realitas waktu: bahwa durasi diarahkan dalam hal hidup dan tidak dapat dibagi atau diukur. Durasi ini ditunjukkan oleh fenomena memori
  1. FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata phenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl .
Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad 20 secara mendalam. Baginya, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu sendiri dan dari apa yang kita amati, terdapat beberapa hal yang membuatnya tidak murni sehingga perlu diakan reduksi. Langkah – langkah yang harus dilakukan adalah melakukan reduksi fenomenologi dan reduksi eiditis.
Pada reduksi tingkat pertama, ada tiga hal yang perlu dilakukan :
  1. Membebaskan diri dari unsur subjektif
  2. Membebaskan diri dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis-hipotesis
  3. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional
Setelah mengalami reduksi fenomenologi, fenomena yang kita amati telah menjdai fenomena yang murni. Akan tetapi, belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, dilakukanlah reduksi kedua, yaitu reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita amati mampu mencapai inti atau esensinya.                                    Pandangan Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi dalam filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu diartikan sebagai kesadaran yang tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu – satunya jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri sendiri.
  1. EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem filsafat secara khusus. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya di dunia ini. Akan tetapi manusia sadar hal tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti sejauh masih berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal.
Ada beberapa hal yang dapat mengidentifikasikan ciri dari aliran eksistensialisme ini :
  1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
  2. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
  3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
  4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
  5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
  6. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Filsafat ini bertitik tolak kepada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka berepndapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi.
Tokoh yang penting dalam filsafat eksistensialisme adalah Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
  1. Martin Heidegger (1883-1976)
Martin Heidegger
Martin Heidegger adalah salah satu filsuf yang paling asli dan penting pada abad ke-20, tetapi ia juga yang paling kontroversial. Pemikirannya telah memberikan sumbangan untuk beberapa bidang yang berbeda, seperti fenomenologi (Merleau-Ponty), eksistensialisme (Sartre, Ortega y Gasset), hermeneutika (Gadamer, Ricoeur), teori politik (Arendt, Marcuse), psikologi (Bos, Binswanger, Rollo May), teologi (Bultmann, Rahner, Tillich), dan postmodernisme (Derrida). Perhatian utama dari seorang Heidegger adalah ontologi. Dalam karyanya, “Being dan Time”, ia mencoba untuk mengakses being (Sein) dengan melalui analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter duniawi dan sejarah manusia. Dalam karya-karyanya berikutnya, Heidegger menekankan nihilisme masyarakat teknologi modern, dan berusaha untuk memenangkan tradisi filsafat Barat kembali ke pertanyaan yang ada. Ia meletakkan penekanan pada bahasa sebagai jalan untuk membuka pertanyaan tersebut. Tulisannya yang sangat sulit. Namun, Being and Time tetap masih yang paling berpengaruh.
  1. John-Paul Sartre (1905-1980)
John Paul Sartre
John-Paul Sartre adalah seorang atheis dan satu – satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Ia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan,”Manusia bebas. Manusia adalah kebebasan.” Ia berpendapat bahwa kebabasan bukan merupakan cirri tetapi manusia itu sendiri.
Konsep kebebasan ini membawa Sartre kepada penolakan akan Allah. Kalau ada Allah, maka Allah sudah mengetahui esensi dari manusia, manusia tidak lagi bebas. Manusia akan melakukan apa yang sudah ditentukan oleh Allah. Tetapi, hal tersebut tidak mungking karena pada manusia, eksistensi mendahului esensi. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa tidak ada Allah.
Dalam bukunya yang berjudul, “Existentialism and humanism”, Sartre memberikan tanggapan kepada orang – orang yang mengatakan  eksistensialisme adalah atheism bahwa eksistensialisme sama sekali bukan atheisme yang menolak adanya Allah. Namun, seandainya Allah ada, hal itu sama sekali tidak mengubah apa – apa.
  1. FILSAFAT ANALITIS
Bertrand Russell
Filsafat analitis atau filsafat bahasa merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para penganutnya menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep-konsep. Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. T okoh penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
  1. STRUKTURALISME
Strukturialisme muncul di Prancis pada tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu, strukturialisme memandang manusia “terkungkung” dengan berbagai struktur di sekelilingnya. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan struktur – struktur tersebut.
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
  1. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik.
  2. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Tokoh – tokoh yang memiliki peranan penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault.
  1. Claude Levi Strauss
Dalam karya klasik tentang kaitan antara kekerabatan dan pertukaran, “The Elementary Structures of Kinship”, tahun 1949, memperkenalkan dua aspek penting antropologi Levi Strauss. Yang pertama adalah prinsip yang mengatakan bahwa kehidupan social dan cultural tidak bias dijelaskan secara unik oleh satu versi fungsionalisme. Aspek penting lain dalam pendekatan Strauss adalah lingkup. Bila banyak peneliti social membatasi penafsiran tentang kehidupan sosial pada masyarakat tententu yang mereka teliti, Levi Strauss menggunakan pendekatan universalis. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat atau kultur menampilkan ciri – ciri yang juga banyak terdapat pada kultur lain karena ini yakin bahwa yang membentuk manusia adalah dimensi kultural, bukan alam. Struktur simbolik kekerabatan, bahasa, dan pertukaran barang menjadi kunci mengenai pemahaman kehidupan sosial, bukan biologi.
Bagi Strauss, “struktur” itu tidak identik dengan struktur empiris suatu masyarakat tertentu, struktur itu tidak ada dalam realitas yang tampak. Dari ini, terdapat kemenduaan Strauss antara jenis strukturalisme yang melihat struktur sebagai suatu model abstrak yang dihasilkan dari analisis terhadap suatu fenomena dengan pengertian struktur sebagai yang bersifat terner, yaitu yang secara inheren mengandung sifat dinamis.
  1. Jacques Lacan
Jacques Lacan
Lacan membaca ulang karya Freud untuk  meninjau ulang teori tentang subjektivitas dasn seksualitas dan menghidupkan kembali sekumpulan konsep. Kemudian Lacan mengemukakan pandangannya bahwa yang paling mneghambat pengetahuan tentang cirri revolusioner dan subversif karya – karya Freud adalah pandangan bahwa ego merupakan hal yang terpenting untuk memahami perilaku manusia.
Dengan penekanan strukturalis pada bahasa sebagai suatu sistem perbedaan tanpa pengertian positif, Lacan menonjolkan pentingnya bahasa dalam karya Freud. Bahasa juga memegang peranan penting dalam suatu wawancara psikoanalitis. Akan tetapi, bahasa bukan hanya pembawa informasi dan pikiran; bukan hanya medium komunikasi. Lacan berpendapat bahwa faktor yang membuat komunikasi cacat itu juga penting. Kesalahpahaman, kekacauan, resonansi, dan berbagai macam kekacauan inilah yang memungkinkan Lacan mengungkapkan aforismenya yang terkenal : “Kesadaran itu terstruktur seperti bahasa.” Oleh karena itu, ketidaksadaran inilah mengganggu komunikasi, bukan secara kebetulan melainkan mengikuti suatu keteraturan struktural.
  1. Michel Foucault (1926-1984)
Michel Foucault
Dalam resume pertamanya yang berjudul, “ The Will to Truth” yang membahas praktek – praktek diskurtif, ia mengatakan :
Kelompok – kelompok yang teratur sekarang tidak berkesesuaian dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan beberapa kelompok. Akan tetapi, mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama (Foucault, 1970-1982: 10).
Penjelasan ini menggambarkan ciri inovatif dan individualis dari karyanya. Oleh sebab itu, ia mengarahkan bahwa kita tidak dapat mereduksi praktek – praktek deskursif menjadi disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskurtif adalah sebuah keteraturan yang muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar.
  1. SEMIOTIKA
Semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti Barthes dalam awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan. Melalui pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka linguistik Saussurean, kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige dan status; atau bisa juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan.
  1. Roland Barthes
Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, seorang yang melihat bahasa sebagai yang dimodelkan oleh teori Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman structural kehidupan sosial dan kultur. Karya – karya Barthes sangat beragam, berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta karya–karya yang lebih bersidat pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri khas dalam karyanya lebih lanjut.
  1. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure
Saussurre adalah seorang bapak strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian: penanda dan yang ditanda. Konsepnya mengenai tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Bahkan, secara lebih mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap teori linguistiknya : hubungan penanda dengan yang ditanda adalah sembarang dana berubah – ubah. Berdasarkan prinsip tersebut, bahasa tidak lagi dianggap muncul dalam etimologi dan filologi, tetapi bias ditangkap dengan sangat baik melalui cara bagaimana bahasa tersebut mengutarakan perubahan.
  1. POSTMODERNISME
Postmodernisme, sangat popular pada penghujung abad ke-20 dan merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat dan ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya.  Modernisme dimulai oleh Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dalam modernisme, filsafat berpusat pada epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang saling terpisah. Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata membawa berbagai dampak buruk, yakni objektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan semena – mena yang berakibat kepada krisis ekologi, militerisme, kebangkitan kembali tribalisme, dan manusia cenderung menjadi objek karena pandangan modern yang objektivistis dan positivistis.                                                                     Postmodernisme berupaya untuk mempertanyakan suatu epistemologi modernis yang didasarkan atas pembedaan subjek dan objek secara jelas. Selain itu, hal lain terkait dengan postmodernisme adalah adanya ketidakpercayaan kepada metanarasi (Lyotard) – yang berarti tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang bisa dipercaya dalam zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan. Selain itu teknologi dilihat sebagai yang menuju ke penitikberatan pada reproduksi.                                               Ciri terpenting dalam postmodernisme adalah relativisme dan mengakui pluralitas. Menurut para postmodernis, tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Setiap bagian memiliki keunikan tersendiri sehingga tidak dapat menerima pemaksaan penyeragaman.                                       Tokoh yang dianggap memperkenalkan postmodernisme adalah Francois Lyotard, lewat bukunya, “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.” Di sini pengertian masyarakat sebagai suatu bentuk kesatuan sudah hilang kredibilitasnya. Masyarakat sebagai kesatuan sudah tidak biasa dipercaya delam kaitannya dengan “ketidakyakinan terhadap metanarasi”. Metanarasi semacam itu memberikan suatu
Francois Lyotard
teleologi yang memberikan pengesahan baik kepada ikatan sosial maupun peranan ilmu dan pengetahuan yang terkait kepadanya. Dalam tataran yang lebih teknik, suatu ilmu dianggap modern apabila ia berusaha memberikan pengesahan kepada aturan – aturannya sendiri kepada suatu metanarasi, sebuah narasi yang berada di luar lingkungan kompetensinya. Postmodernisme memperlihatkan dua buah sasaran, metanarasi yang cukup berpengaruh dan gagasan yang mengatakan bahwa pengetahuan itu dipandang sebagai subjek manusia yang berupaya menemukan kebebasan, mulai bersaing, dan lebih jauh lagi, tidak ada bukti dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perdebatan ini. Dalam zaman komputer, kerumitan pun semakin meningkat.
Pengantar Deskriptif ;
Filsafat Kontemporer di Barat dan Islam

Membincang terma filsafat, di dunia Islam, baru berucap “A”, bahkan belum apa-apa statement negatif —istilah kafir, zindiq dan musyrik— merupakan konsekuensi logis yang secara sadar harus kita terima dengan penuh lapang dada. Mungkin tidak semua-selamanya, namun paradigma ini masih mayoritas sampai sekarang. Apalagi, jika sudah masuk dan bersentuhan dengan terma-terma asing (baca;Barat), entahlah ada anggapan apa? Darah menetes mungkin salah satu solusi.

Di dunia lain, Barat, filsafat adalah menu utama masyarakat, nutrisi penting dalam menentukan langkah maju. Hal ini lebih dikarenakan, paradigma berfikir mereka terbuka terhadap peradaban luar, dengan pra-syarat rasional khususnya filsafat. Oleh karena itu, di sana filsafat mampu tumbuh-berkembang dengan suburnya. Perkembangan ini bisa kita lihat dengan kasat mata; menjamurnya aliran-aliran filsafat: strukturaslisme, post-strukturalisme, semiotika, feminis, modernitas sampai post-modernitas. Selain itu, kemajuan teknologi, stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sudah merupakan bukti konkrit. Terlepas dari sisi spiritual bagaimana?


Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan filsafat kontemporer di Barat dan Islam. Memaparkan secara deskriptif beberapa aliran/sekte filsafat dan filsuf-filsuf, serta pemikirannya. Bagaimana imbas hal ini terhadap Islam di era kontemporer, masa kebangkitan? Dengan harapan deskripsi sederhana ini dijadikan sebagai motivasi ke arah pembaharuan, sebuah proses yang terus berjalan dan berjalan …

Filsafat Barat di Era Modern-Kontemporer

Apakah itu filsafat? Apa batasan modern-kontemporer? Pertanyaan sederhana ini pasti muncul serta-merta, ketika membincang subterma ini. Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.

Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu.

Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun, penulis hanya memaparkan tiga aliran dari semuanya.

Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau).
Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Seolah orang yang sedang kesurupan. Nietzche mengkritik habis hampir semua relief-relief kebudayaan barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama bertahun-tahun orang bersikap sinis terhadap tulisan-tulisan Nietzche.
Dengan menawarkan beberapa konsep idealisme; nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermenech dan kembalinya segala sesuatu, bagi Nietzche, prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis. Dalam tataran skema menurut Nietzche, segala sesuatu-baik dalam bentuk redaksionisme suatu esensi maupun teleologi¬¬- tujuan akan bermuatkan sebentuk idealisme.

Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.

Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan.

Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya.

Langkah praktisi yang mereka tempuh adalah dengan merumuskan unsur-unsur normatif, seperti: teori bahasa, dengan penuh harap terbentuknya komunikasi yang standar minimal. Maka, komunikasi harus tak terdistorsi dan secara bebas diungkapkan, sehingga dapat mencapai kesepakatan; kesepakatan yang mensyaratkan “pengenalan antarsubjektif”. Oleh sebab itu, bila komunikasi secara sistematis tidak berhasil, maka yang terjadi adalah bentuk bahasa yang sakit.

Selanjutnya, yakni evolusi masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan landasan suatu kerangka normatif, demi realisasi minat emansipatoris. Tidak absah suatu negara ketika tidak mampu melindungi rakyatnya dari krisis; ekonomi, politik, dan nonsens dalam men-suport atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Obsesi kebebasan, kemanusian dan solusi problematika atas kapitalisme modern adalah keniscayaan. Hak-hak manusia di suatu negara harus lebih diutamakan, selain itu perjuangan untuk menyelamatkan manusia agar mereka tak tersingkir di mata hukum. Hal ini dengan konsekuensi pra-syarat bahwa setiap individu harus berkewarganegaraan, karena hilangnya kewarganegaraan berarti hilang status legalitas, status legalitas terhadap semua hak dan kewajiban.

Post-Marxisme juga sangat melaknat dan membuang jauh ke tong sampah sistem pemerintahan yang totalitarianisme, apalagi sampai despostis. Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.

Modenisasi Pemikiran Arab-Islam

Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.

Masa gelap, masa yang melelahkan. Bak se-ekor Harimau yang terjaga dari pulas, Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.

Disisi yang lain, datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam. Kedatangan kolonialis-imperalis disambut dengan mesra oleh Muhammad Ali Pasha seperti kala itu untuk bekerja sama, khususnya dalam perdagangan. Merasa kurang, guna membangun negaranya, maka pemerintah Mesir menetapkan kebijakan untuk mengutus delegasi ke Perancis untuk mempelajari kemajuan Barat, kemudian ditransformasikan ke Mesir. Rihlah Ilmiah inilah yang akhirya menjadi titik tolak kemajuan Arab-Islam, khususnya Mesir. Baik dari segi fisik (bangunan dan tata kota), maupun keamanan, ekonomi dan keilmuan.

Rifa’at at-Tahthawi adalah salah satu delegasi yang dikirim ke Perancis. Sepulang dari Paris, dengan bekal yang diperoleh, Rifa’at berdiri mengusung bendera modernisasi di tanah seribu menara. Ini diawali dengan penerjemahan secara gencar literature-literatur barat yang berpusat di madrasah Alsin . Selain itu, rifa’at juga membuka sekolah-sekolah dengan system baru, tanpa biaya alias gratis. Terobosan baru pun ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi para perempuan (Madaris li al-banat). Tak lama kemudian jumlah sekolah atau madrasah meningkat secara drastis di seluruh saentro Mesir, gairah intelektual meningkat. Hasil praktisi ini digambarkan secara apik lewat bukunya “ al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin” sebagai pegangan generasi muda Mesir dalam menekuni dunia pendidikan. Salih majdi, salah satu anak didik rifa’at, berasumsi bahwa kitab ini secara resmi beredar setelah wafatnya rifa’at yang kemudian dilanjutkan oleh sang putra mahkota, Ali Fahmi Rifa’at. Namun, realita membuktikan bahwa karya tersebut terbit satu bulan sebelum wafatnya rifa’at.


Tidak berpaut jenjang waktu lama, muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Duet maut antara guru dan murid ini melahirkan pendapat pro-kontra di kalangan khalayak. Meski demikian, pegaruh mereka sudah terlampau luas dan semarak. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan. Dengan piranti modern dan prasyarat rasional, mereka mengangankan sebuah agama/tradisi yang hidup dan relevan seiring dengan kontinuitas nan selalu mengirinya, (I’adah al-bunyat min jadid). Tidak senada dengan perspektif mayoritas ulama (kaum tradisionalis) yang lebih mendambakan “pernyataan ulang” atas kebesaran tradisi masa lampau. Menurut kaum tradisionalis, bahwa semua permasalahan dan segala problematika yang ada telah dibahas secara tuntas oleh para pendahulu.

Selanjutnya, secara umum pemikiran Arab-Islam dapat digolongkan dalam dua mainstrem besar. Yakni, mereka yang pro-barat dan mereka yang kontra/ antipati terhadap metodologi Barat dimana yang pertama berwarnakan dua tipologi khusus, sementara untuk yang kedua hanya ada satu tipologi yang disebut ideal-totalistik.

Pertama, pro-Barat. Pada tataran ini, reformis-dekonstruktif adalah sebuah tipologi pemikiran yang merupakan presentasi nyata dari mereka yang terinklinasi secara sadar oleh filsafat barat sebagai kerangka metodologi pendekatan mereka. Cendekiawan semisal Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zaid termasuk dalam golongan ini dimana filsafat post-strukturalis Barat merupakan pangkal kembalinya pemikiran mereka. Selain itu, reformis-rekonstruktif juga acapkali di kategorikan dalam golongan ini sebagai akibat dari kecenderungan metodologis mereka terhadap Barat. Namun di satu sisi lain, masih menjadikan turas sebagai pijakan pergerakan mereka dalam modernisasi. Rifa’at al-Tohthowy, al-Afghani, Muhammad Abduh, dan al-kawakibi adalah sebagian dari mereka yang mewakili tipologi pemikiran ini.

Kedua, kontra/anti Barat. “al-awdah ila al-manba’” merupakan jargon yang mereka serukan sebagai acuan pergerakan mereka. Bahwa Islam adalah agama, budaya sekaligus peradaban yang telah mencakup tatanan social, politik dan ekonomi telah mengantar mereka untuk mencapai kegemilangan yang tempoe doeloe sempat ditorehkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal inilah yang memberikan asumsi bahwa barat tak ubahnya momok, dan apa yang telah digapai oleh modernitas pun (sains dan teknologi) tak lupa mereka nisbatkan sebagai hasil “masa gemilang” yang kemudian melegitimasi kebenaran mereka menerima menerima modernitas. Para cendekiawan yang memiliki kecenderungan ideal-totalistik ini dapat kita temukan dalam diri M. Ghozali, Sayyid Qutb, Anwar Jundi, serta Said Hawwa yang berorientasikan pada gerakan islam politik. Isu kontemporer ‘Trans-nasionalisme’ juga mungkin digolongkan pada aliran ini.







Epilog.

Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan, masuk dalam ranah untouchable.

Ironis, jika pertarungan ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

Makalah ditulis oleh:
Ronny Giat Brahmanto

Instagram