Kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua
kata : philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan sophia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan). Jadi secara etimologi,
filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Secara umum filsafat
berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan kritis. Orang Yunani senang akan kebijaksanaan yang selalu diarahkan kepada
kepandaian secara teoretis dan praktis. Kepandaian yang bersifat teoretis
adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan ide yang
tentunya sejalan dengan cara pikir mereka. Kepandaian yang bersifat praktis
adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan
pengetahuan itu.
Berbicara mengenai ilmu maka tidak
akan terlepas dari filsafat. Semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial
bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan
terbagi menjadi beberapa periode sejarah yang setiap periodenya memiliki ciri
khas masing-masing. Periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari
peradaban Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Renaissance, Zaman Modern, dan
Kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut:
- Yunani Kuno
Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum karena
menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan
terhadap mitologi atau tahyul yang irrasional.
- Zaman Pertengahan
Pada masa ini, para ilmuwannya hampir semua adalah teolog, sehingga aktivitas
ilmiah berkaitan dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi
ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama.
- Zaman Renaissance
Renaissance berarti lahir kembali (rebirth), yaitu dilahirkannya kembali
sebagai manusia yang bebas untuk berpikir. Zaman ini menjadi indikator
bangkitnya kembali independensi rasionalitas manusia, karena sudah
tercatat banyaknya penemuan spektakuler, seperti teori heliosentris oleh
Copernicus, yang merupakan pemikiran revolusioner, dan kemudian didukung
oleh Johanes Kepler (1571 – 1630) dan Galileo Galilei (1564 – 1642).
- Zaman Modern
Dikenal juga sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan
tokoh utama, yaitu Rene Descartes (1596 – 1650) yang dikenal sebagai Bapak
Filsafat Modern, Spinoza (1633 – 1677), dan Leibniz (1646 – 1716).
Descartes memperkenalkan metode berpikir deduktif logis yang umumnya
diterapkan untuk ilmu alam.
- Kontemporer
Zaman Kontemporer dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat Barat
kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan
karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf adalah
spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan
ekonomi. Akan tetapi bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan
paling banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika
dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung
unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta.
Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah
pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis,
strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.
- PRAGMATISME
Aliran ini sangat terkenal di
Amerika Serikat. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah
sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Kelompok ini bersikap kritis terhadap sistem-sistem
filsafat sebelumnya seperti bentuk – bentuk aliran materialisme, idealisme, dan
realisme. Mereka berpendapat bahwa filsafat pada masa lalu telah keliru karena
mencari hal – hal yang mutlak, yang ultimate.
Tokoh yang terpenting dalam aliran
ini adalah William James (1842-1910). Pragmatisme pertama kali diumumkan dalam
sebuah kuliah di Berkeley pada tahun 1898, berjudul “Philosophical
Conceptions and Practical Results”. Sumber-sumber lanjutan mengenai
pragmatisme disampaikan di Wellesley College pada tahun 1905, Lowell Institute,
dan Columbia University pada tahun 1906 dan 1907.
Pragmatisme yang muncul dalam
bukunya terbagi menjadi enam hal : temperamen filosofis, teori kebenaran, teori
makna, holistik tentang pengetahuan, pandangan metafisika, dan metode
penyelesaian sengketa filosofis.
James memandang pemikirannya sebagai
kelanjutan dari empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya
untuk menyusun kenyataan berdasarkan atas fakta – fakta lepas sebagai hasil
pengamatan. Tetapi, kebenaran merupakan suatu proses, suatu ide dapat menjadi
benar apabila didukung oleh akibat – akibat atau hasil dari ide tersebut. Oleh
karena itu, kebenaran baru menjadi sesuatu yang real setelah melalui
verifikasi praktis.
- VITALISME
Vitalisme berpandangan bahwa
kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda
dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan
ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa
secara matematis.
Tokoh terpenting dalam vitalisme
adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling
terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20.
Meskipun ketenaran secara internasional cukup tinggi selama masa hidupnya, tetapi
setelah Perang Dunia kedua pengaruhnya mengalami penurunan. para pemikir
Perancis, seperti Merleau-Ponty, Sartre, dan Levinas secara eksplisit mengakui
pengaruhnya terhadap pemikiran mereka. Mereka pada umumnya sepakat bahwa Gilles
Deleuze (1966) Bergsonism, menandai kebangkitan secara luas serta meningkatnya
minat dalam karya Bergson. Deleuze menyadari bahwa kontribusi terbesar Bergson
bagi pemikiran filsafat adalah konsep keanekaragaman. Filsafat Bergson
merupakan dualistik: dunia mengandung dua kecenderungan yang berlawanan: gaya
hidup (Elan vital) dan perlawanan dari dunia materi terhadap gaya.
Manusia dapat mengetahui masalah dengan kepandaiannya. Mereka merumuskan
doktrin ilmu pengetahuan dan melihat hal-hal yang ditetapkan sebagai unit
terpisah di dalam ruang. Hal yang berlawanan dengan kepandaian adalah intuisi,
yang berasal dari naluri yang lebih rendah. Intuisi memberi kita isyarat dari
gaya hidup yang melingkupi semua hal. Intuisi merasakan realitas waktu: bahwa
durasi diarahkan dalam hal hidup dan tidak dapat dibagi atau diukur. Durasi ini
ditunjukkan oleh fenomena memori
- FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata phenomenon
yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang
mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri. Fenomenologi
dirintis oleh Edmund Husserl .
Edmund Husserl (1859-1938) adalah
pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad 20
secara mendalam. Baginya, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak
ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas
sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita
amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu sendiri dan dari apa yang
kita amati, terdapat beberapa hal yang membuatnya tidak murni sehingga perlu
diakan reduksi. Langkah – langkah yang harus dilakukan adalah melakukan reduksi
fenomenologi dan reduksi eiditis.
Pada reduksi tingkat pertama, ada
tiga hal yang perlu dilakukan :
- Membebaskan diri dari unsur subjektif
- Membebaskan diri dari kungkungan teori-teori, dan
hipotesis-hipotesis
- Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional
Setelah mengalami reduksi
fenomenologi, fenomena yang kita amati telah menjdai fenomena yang murni. Akan
tetapi, belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh
karena itu, dilakukanlah reduksi kedua, yaitu reduksi eiditis. Melalui reduksi
kedua, fenomena yang kita amati mampu mencapai inti atau esensinya.
Pandangan Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi
dalam filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu diartikan sebagai
kesadaran yang tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu
– satunya jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa
kesadaran terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri
sendiri.
- EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi.
Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem filsafat
secara khusus. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Benda mati dan hewan
tidak menyadari keberadaannya di dunia ini. Akan tetapi manusia sadar hal
tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti sejauh masih berkaitan
dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal.
Ada beberapa hal yang dapat
mengidentifikasikan ciri dari aliran eksistensialisme ini :
- Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes
terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme
Hegel.
- Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama
individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari
kehidupan konkrit.
- Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap
alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan
teknologi, serta gerakan massa.
- Eksistensialisme merupakan protes terhadap
gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung
menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
- Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek
(harapan) manusia di dunia.
- Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan
pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Filsafat ini bertitik tolak kepada
manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka
berepndapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi.
Tokoh yang penting dalam filsafat
eksistensialisme adalah Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
- Martin Heidegger (1883-1976)
Martin Heidegger adalah salah satu
filsuf yang paling asli dan penting pada abad ke-20, tetapi ia juga yang paling
kontroversial. Pemikirannya telah memberikan sumbangan untuk beberapa bidang
yang berbeda, seperti fenomenologi (Merleau-Ponty), eksistensialisme (Sartre,
Ortega y Gasset), hermeneutika (Gadamer, Ricoeur), teori politik (Arendt,
Marcuse), psikologi (Bos, Binswanger, Rollo May), teologi (Bultmann, Rahner,
Tillich), dan postmodernisme (Derrida). Perhatian utama dari seorang Heidegger
adalah ontologi. Dalam karyanya, “Being dan Time”, ia mencoba untuk
mengakses being (Sein) dengan melalui analisis fenomenologis tentang
eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter duniawi dan sejarah
manusia. Dalam karya-karyanya berikutnya, Heidegger menekankan nihilisme
masyarakat teknologi modern, dan berusaha untuk memenangkan tradisi filsafat
Barat kembali ke pertanyaan yang ada. Ia meletakkan penekanan pada bahasa
sebagai jalan untuk membuka pertanyaan tersebut. Tulisannya yang sangat sulit.
Namun, Being and Time tetap masih yang paling berpengaruh.
- John-Paul Sartre (1905-1980)
John-Paul Sartre adalah seorang
atheis dan satu – satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada
titik yang sangat ekstrim. Ia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama
sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan,”Manusia bebas.
Manusia adalah kebebasan.” Ia berpendapat bahwa kebabasan bukan merupakan cirri
tetapi manusia itu sendiri.
Konsep kebebasan ini membawa Sartre
kepada penolakan akan Allah. Kalau ada Allah, maka Allah sudah mengetahui
esensi dari manusia, manusia tidak lagi bebas. Manusia akan melakukan apa yang
sudah ditentukan oleh Allah. Tetapi, hal tersebut tidak mungking karena pada
manusia, eksistensi mendahului esensi. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa
tidak ada Allah.
Dalam bukunya yang berjudul, “Existentialism
and humanism”, Sartre memberikan tanggapan kepada orang – orang yang
mengatakan eksistensialisme adalah atheism bahwa eksistensialisme sama
sekali bukan atheisme yang menolak adanya Allah. Namun, seandainya Allah ada,
hal itu sama sekali tidak mengubah apa – apa.
- FILSAFAT ANALITIS
Filsafat analitis atau filsafat
bahasa merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para
penganutnya menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep-konsep.
Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. T okoh
penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein
(1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
- STRUKTURALISME
Strukturialisme muncul di Prancis
pada tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi.
Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan
memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme
yang menekankan pada peranan individu, strukturialisme memandang manusia
“terkungkung” dengan berbagai struktur di sekelilingnya. Maka kaum strukturalis
menyibukkan diri dengan struktur – struktur tersebut.
Secara garis besar ada dua
pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai
aliran filsafat.
- Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang
digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak
dari prinsip-prinsip linguistik.
- Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak
memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi
struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan
alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan
dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam
pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Tokoh – tokoh yang memiliki peranan
penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan
Michel Foucault.
- Claude Levi Strauss
Dalam karya klasik tentang kaitan
antara kekerabatan dan pertukaran, “The Elementary Structures of Kinship”,
tahun 1949, memperkenalkan dua aspek penting antropologi Levi Strauss. Yang
pertama adalah prinsip yang mengatakan bahwa kehidupan social dan cultural
tidak bias dijelaskan secara unik oleh satu versi fungsionalisme. Aspek penting
lain dalam pendekatan Strauss adalah lingkup. Bila banyak peneliti social
membatasi penafsiran tentang kehidupan sosial pada masyarakat tententu yang
mereka teliti, Levi Strauss menggunakan pendekatan universalis. Ia berpendapat
bahwa setiap masyarakat atau kultur menampilkan ciri – ciri yang juga banyak
terdapat pada kultur lain karena ini yakin bahwa yang membentuk manusia adalah
dimensi kultural, bukan alam. Struktur simbolik kekerabatan, bahasa, dan
pertukaran barang menjadi kunci mengenai pemahaman kehidupan sosial, bukan
biologi.
Bagi Strauss, “struktur” itu tidak
identik dengan struktur empiris suatu masyarakat tertentu, struktur itu tidak
ada dalam realitas yang tampak. Dari ini, terdapat kemenduaan Strauss antara
jenis strukturalisme yang melihat struktur sebagai suatu model abstrak yang
dihasilkan dari analisis terhadap suatu fenomena dengan pengertian struktur
sebagai yang bersifat terner, yaitu yang secara inheren mengandung sifat
dinamis.
- Jacques Lacan
Lacan membaca ulang karya Freud
untuk meninjau ulang teori tentang subjektivitas dasn seksualitas dan
menghidupkan kembali sekumpulan konsep. Kemudian Lacan mengemukakan
pandangannya bahwa yang paling mneghambat pengetahuan tentang cirri
revolusioner dan subversif karya – karya Freud adalah pandangan bahwa ego
merupakan hal yang terpenting untuk memahami perilaku manusia.
Dengan penekanan strukturalis pada
bahasa sebagai suatu sistem perbedaan tanpa pengertian positif, Lacan
menonjolkan pentingnya bahasa dalam karya Freud. Bahasa juga memegang peranan
penting dalam suatu wawancara psikoanalitis. Akan tetapi, bahasa bukan hanya
pembawa informasi dan pikiran; bukan hanya medium komunikasi. Lacan berpendapat
bahwa faktor yang membuat komunikasi cacat itu juga penting. Kesalahpahaman,
kekacauan, resonansi, dan berbagai macam kekacauan inilah yang memungkinkan
Lacan mengungkapkan aforismenya yang terkenal : “Kesadaran itu terstruktur
seperti bahasa.” Oleh karena itu, ketidaksadaran inilah mengganggu komunikasi,
bukan secara kebetulan melainkan mengikuti suatu keteraturan struktural.
- Michel Foucault (1926-1984)
Dalam resume pertamanya yang
berjudul, “ The Will to Truth” yang membahas praktek – praktek diskurtif, ia
mengatakan :
Kelompok – kelompok yang teratur
sekarang tidak berkesesuaian dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan
untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang
cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan beberapa kelompok. Akan tetapi,
mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin
meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama (Foucault, 1970-1982:
10).
Penjelasan ini menggambarkan ciri
inovatif dan individualis dari karyanya. Oleh sebab itu, ia mengarahkan bahwa
kita tidak dapat mereduksi praktek – praktek deskursif menjadi disiplin
akademik. Akan tetapi, praktek diskurtif adalah sebuah keteraturan yang muncul
dalam fakta artikulasi itu sendiri. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat
tidak sadar.
- SEMIOTIKA
Semiotika adalah teori tentang tanda
dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti Barthes dalam awal pemikirannya
melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan. Melalui
pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka linguistik Saussurean,
kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige dan status; atau bisa
juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga mempelajari bagaimana
tanda melakukan penandaan.
- Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli
semiotika, seorang yang melihat bahasa sebagai yang dimodelkan oleh teori
Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman structural kehidupan sosial dan
kultur. Karya – karya Barthes sangat beragam, berkisar dari teori semiotika,
esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta karya–karya yang lebih bersidat
pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri khas dalam karyanya lebih
lanjut.
- Ferdinand de Saussure
Saussurre adalah seorang bapak
strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya adalah prinsip yang
mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun
dari dua bagian: penanda dan yang ditanda. Konsepnya mengenai tanda menunjuk ke
otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Bahkan, secara lebih
mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan orang modern
menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap teori linguistiknya : hubungan
penanda dengan yang ditanda adalah sembarang dana berubah – ubah. Berdasarkan
prinsip tersebut, bahasa tidak lagi dianggap muncul dalam etimologi dan
filologi, tetapi bias ditangkap dengan sangat baik melalui cara bagaimana
bahasa tersebut mengutarakan perubahan.
- POSTMODERNISME
Postmodernisme, sangat popular pada
penghujung abad ke-20 dan merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat dan
ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan
segala dampaknya. Modernisme dimulai oleh Rene Descrates, dikokohkan
oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabdikan diri
melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dalam modernisme, filsafat berpusat
pada epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan
objektivitas murni yang saling terpisah. Modernisme mempunyai gambaran dunia
sendiri yang ternyata membawa berbagai dampak buruk, yakni objektifikasi alam
secara berlebihan dan pengurasan semena – mena yang berakibat kepada krisis
ekologi, militerisme, kebangkitan kembali tribalisme, dan manusia cenderung
menjadi objek karena pandangan modern yang objektivistis dan
positivistis.
Postmodernisme berupaya untuk mempertanyakan suatu epistemologi modernis yang
didasarkan atas pembedaan subjek dan objek secara jelas. Selain itu, hal lain
terkait dengan postmodernisme adalah adanya ketidakpercayaan kepada metanarasi
(Lyotard) – yang berarti tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang
bisa dipercaya dalam zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan. Selain itu
teknologi dilihat sebagai yang menuju ke penitikberatan pada
reproduksi.
Ciri
terpenting dalam postmodernisme adalah relativisme dan mengakui pluralitas.
Menurut para postmodernis, tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Setiap
bagian memiliki keunikan tersendiri sehingga tidak dapat menerima pemaksaan
penyeragaman.
Tokoh yang dianggap memperkenalkan postmodernisme adalah Francois Lyotard,
lewat bukunya, “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.” Di
sini pengertian masyarakat sebagai suatu bentuk kesatuan sudah hilang
kredibilitasnya. Masyarakat sebagai kesatuan sudah tidak biasa dipercaya delam
kaitannya dengan “ketidakyakinan terhadap metanarasi”. Metanarasi semacam itu
memberikan suatu
teleologi yang memberikan pengesahan
baik kepada ikatan sosial maupun peranan ilmu dan pengetahuan yang terkait
kepadanya. Dalam tataran yang lebih teknik, suatu ilmu dianggap modern apabila
ia berusaha memberikan pengesahan kepada aturan – aturannya sendiri kepada
suatu metanarasi, sebuah narasi yang berada di luar lingkungan kompetensinya.
Postmodernisme memperlihatkan dua buah sasaran, metanarasi yang cukup
berpengaruh dan gagasan yang mengatakan bahwa pengetahuan itu dipandang sebagai
subjek manusia yang berupaya menemukan kebebasan, mulai bersaing, dan lebih
jauh lagi, tidak ada bukti dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
perdebatan ini. Dalam zaman komputer, kerumitan pun semakin meningkat.
Pengantar Deskriptif ;
Filsafat Kontemporer di Barat dan Islam
Membincang terma filsafat, di dunia Islam, baru berucap “A”, bahkan belum
apa-apa statement negatif —istilah kafir, zindiq dan musyrik— merupakan
konsekuensi logis yang secara sadar harus kita terima dengan penuh lapang dada.
Mungkin tidak semua-selamanya, namun paradigma ini masih mayoritas sampai
sekarang. Apalagi, jika sudah masuk dan bersentuhan dengan terma-terma asing
(baca;Barat), entahlah ada anggapan apa? Darah menetes mungkin salah satu
solusi.
Di dunia lain, Barat, filsafat adalah menu utama masyarakat, nutrisi penting
dalam menentukan langkah maju. Hal ini lebih dikarenakan, paradigma berfikir
mereka terbuka terhadap peradaban luar, dengan pra-syarat rasional khususnya
filsafat. Oleh karena itu, di sana filsafat mampu tumbuh-berkembang dengan
suburnya. Perkembangan ini bisa kita lihat dengan kasat mata; menjamurnya
aliran-aliran filsafat: strukturaslisme, post-strukturalisme, semiotika,
feminis, modernitas sampai post-modernitas. Selain itu, kemajuan teknologi,
stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sudah merupakan bukti konkrit.
Terlepas dari sisi spiritual bagaimana?
Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan filsafat
kontemporer di Barat dan Islam. Memaparkan secara deskriptif beberapa
aliran/sekte filsafat dan filsuf-filsuf, serta pemikirannya. Bagaimana imbas
hal ini terhadap Islam di era kontemporer, masa kebangkitan? Dengan harapan
deskripsi sederhana ini dijadikan sebagai motivasi ke arah pembaharuan, sebuah
proses yang terus berjalan dan berjalan …
Filsafat Barat di Era Modern-Kontemporer
Apakah itu filsafat? Apa batasan modern-kontemporer? Pertanyaan sederhana ini
pasti muncul serta-merta, ketika membincang subterma ini. Filsafat, secara
etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’
adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat
kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat.
Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam
berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan
“modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti.
“komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara
“modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga
sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang
telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.
Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik
tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan
kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara
dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan
dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan
terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk,
filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta
mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan
mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan
pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu.
Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad
yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur
sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan
ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat
kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang
semarak. Namun, penulis hanya memaparkan tiga aliran dari semuanya.
Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada
masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan
“suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi
(canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang
masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri
struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab
itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui
suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan
maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari
masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa
dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang,
masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli
filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari
generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George
Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang
konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi
lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki
pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis.
Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok
yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi
kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan
pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam
menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada
saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi
dan selip lidah (igau).
Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal
al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901
M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan
varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai
sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya
merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan
tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara
dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi
tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep
Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi
post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut
filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Seolah orang yang sedang kesurupan.
Nietzche mengkritik habis hampir semua relief-relief kebudayaan barat. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika selama bertahun-tahun orang bersikap sinis
terhadap tulisan-tulisan Nietzche.
Dengan menawarkan beberapa konsep idealisme; nihilisme, kehendak untuk
berkuasa, ubermenech dan kembalinya segala sesuatu, bagi Nietzche, prinsip yang
diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta
serta penampilannya adalah bersifat idealis. Dalam tataran skema menurut
Nietzche, segala sesuatu-baik dalam bentuk redaksionisme suatu esensi maupun
teleologi¬¬- tujuan akan bermuatkan sebentuk idealisme.
Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog
dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang
Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida
(1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang
kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of
gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk,
Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang
tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.
Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut
dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka
menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang
sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme
modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan
sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka
menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas
Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar
sistem dan kehidupan.
Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak
mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk
suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus
dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik,
ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di
dalamnya.
Langkah praktisi yang mereka tempuh adalah dengan merumuskan unsur-unsur
normatif, seperti: teori bahasa, dengan penuh harap terbentuknya komunikasi
yang standar minimal. Maka, komunikasi harus tak terdistorsi dan secara bebas
diungkapkan, sehingga dapat mencapai kesepakatan; kesepakatan yang mensyaratkan
“pengenalan antarsubjektif”. Oleh sebab itu, bila komunikasi secara sistematis
tidak berhasil, maka yang terjadi adalah bentuk bahasa yang sakit.
Selanjutnya, yakni evolusi masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan
landasan suatu kerangka normatif, demi realisasi minat emansipatoris. Tidak
absah suatu negara ketika tidak mampu melindungi rakyatnya dari krisis;
ekonomi, politik, dan nonsens dalam men-suport atau memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya.
Obsesi kebebasan, kemanusian dan solusi problematika atas kapitalisme modern
adalah keniscayaan. Hak-hak manusia di suatu negara harus lebih diutamakan,
selain itu perjuangan untuk menyelamatkan manusia agar mereka tak tersingkir di
mata hukum. Hal ini dengan konsekuensi pra-syarat bahwa setiap individu harus
berkewarganegaraan, karena hilangnya kewarganegaraan berarti hilang status
legalitas, status legalitas terhadap semua hak dan kewajiban.
Post-Marxisme juga sangat melaknat dan membuang jauh ke tong sampah sistem
pemerintahan yang totalitarianisme, apalagi sampai despostis. Para filsuf yang
mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti
Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
Modenisasi Pemikiran Arab-Islam
Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari
budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia
Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali,
dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya
filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat
paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para
Mullah, Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika
Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi
al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam
mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.
Masa gelap, masa yang melelahkan. Bak se-ekor Harimau yang terjaga dari pulas,
Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan
disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme.
Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah
dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.
Disisi yang lain, datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan
pemikiran Arab-Islam. Kedatangan kolonialis-imperalis disambut dengan mesra
oleh Muhammad Ali Pasha seperti kala itu untuk bekerja sama, khususnya dalam
perdagangan. Merasa kurang, guna membangun negaranya, maka pemerintah Mesir
menetapkan kebijakan untuk mengutus delegasi ke Perancis untuk mempelajari
kemajuan Barat, kemudian ditransformasikan ke Mesir. Rihlah Ilmiah inilah yang
akhirya menjadi titik tolak kemajuan Arab-Islam, khususnya Mesir. Baik dari
segi fisik (bangunan dan tata kota), maupun keamanan, ekonomi dan keilmuan.
Rifa’at at-Tahthawi adalah salah satu delegasi yang dikirim ke Perancis.
Sepulang dari Paris, dengan bekal yang diperoleh, Rifa’at berdiri mengusung
bendera modernisasi di tanah seribu menara. Ini diawali dengan penerjemahan
secara gencar literature-literatur barat yang berpusat di madrasah Alsin .
Selain itu, rifa’at juga membuka sekolah-sekolah dengan system baru, tanpa
biaya alias gratis. Terobosan baru pun ia lakukan dengan mendirikan
sekolah-sekolah bagi para perempuan (Madaris li al-banat). Tak lama kemudian
jumlah sekolah atau madrasah meningkat secara drastis di seluruh saentro Mesir,
gairah intelektual meningkat. Hasil praktisi ini digambarkan secara apik lewat
bukunya “ al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin” sebagai pegangan generasi
muda Mesir dalam menekuni dunia pendidikan. Salih majdi, salah satu anak didik
rifa’at, berasumsi bahwa kitab ini secara resmi beredar setelah wafatnya
rifa’at yang kemudian dilanjutkan oleh sang putra mahkota, Ali Fahmi Rifa’at.
Namun, realita membuktikan bahwa karya tersebut terbit satu bulan sebelum
wafatnya rifa’at.
Tidak berpaut jenjang waktu lama, muncullah para pemikir rekonstruktif lain
semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Duet maut antara guru dan
murid ini melahirkan pendapat pro-kontra di kalangan khalayak. Meski demikian,
pegaruh mereka sudah terlampau luas dan semarak. Mereka sepakat guna memerangi
keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran
rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan. Dengan piranti modern dan prasyarat
rasional, mereka mengangankan sebuah agama/tradisi yang hidup dan relevan
seiring dengan kontinuitas nan selalu mengirinya, (I’adah al-bunyat min jadid).
Tidak senada dengan perspektif mayoritas ulama (kaum tradisionalis) yang lebih
mendambakan “pernyataan ulang” atas kebesaran tradisi masa lampau. Menurut kaum
tradisionalis, bahwa semua permasalahan dan segala problematika yang ada telah
dibahas secara tuntas oleh para pendahulu.
Selanjutnya, secara umum pemikiran Arab-Islam dapat digolongkan dalam dua
mainstrem besar. Yakni, mereka yang pro-barat dan mereka yang kontra/ antipati
terhadap metodologi Barat dimana yang pertama berwarnakan dua tipologi khusus,
sementara untuk yang kedua hanya ada satu tipologi yang disebut
ideal-totalistik.
Pertama, pro-Barat. Pada tataran ini, reformis-dekonstruktif adalah sebuah tipologi
pemikiran yang merupakan presentasi nyata dari mereka yang terinklinasi secara
sadar oleh filsafat barat sebagai kerangka metodologi pendekatan mereka.
Cendekiawan semisal Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nasr
Hamid Abu Zaid termasuk dalam golongan ini dimana filsafat post-strukturalis
Barat merupakan pangkal kembalinya pemikiran mereka. Selain itu,
reformis-rekonstruktif juga acapkali di kategorikan dalam golongan ini sebagai
akibat dari kecenderungan metodologis mereka terhadap Barat. Namun di satu sisi
lain, masih menjadikan turas sebagai pijakan pergerakan mereka dalam
modernisasi. Rifa’at al-Tohthowy, al-Afghani, Muhammad Abduh, dan al-kawakibi
adalah sebagian dari mereka yang mewakili tipologi pemikiran ini.
Kedua, kontra/anti Barat. “al-awdah ila al-manba’” merupakan jargon yang mereka
serukan sebagai acuan pergerakan mereka. Bahwa Islam adalah agama, budaya
sekaligus peradaban yang telah mencakup tatanan social, politik dan ekonomi
telah mengantar mereka untuk mencapai kegemilangan yang tempoe doeloe sempat
ditorehkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal inilah yang memberikan asumsi bahwa
barat tak ubahnya momok, dan apa yang telah digapai oleh modernitas pun (sains
dan teknologi) tak lupa mereka nisbatkan sebagai hasil “masa gemilang” yang
kemudian melegitimasi kebenaran mereka menerima menerima modernitas. Para
cendekiawan yang memiliki kecenderungan ideal-totalistik ini dapat kita temukan
dalam diri M. Ghozali, Sayyid Qutb, Anwar Jundi, serta Said Hawwa yang
berorientasikan pada gerakan islam politik. Isu kontemporer
‘Trans-nasionalisme’ juga mungkin digolongkan pada aliran ini.
Epilog.
Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak
modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis
yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud
kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme
adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah
pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan
literatur keilmuan telah menjadi Tuhan, masuk dalam ranah untouchable.
Ironis, jika pertarungan ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia
Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati
terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang
telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu
menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.
Makalah ditulis oleh:
Ronny Giat Brahmanto