Kejatuhan tragis Orde Baru adalah
pengalaman berharga dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia. Sentralisasi
pembangunan dengan pola pendekatan top down yang
menjadi strategi utama pembangunan Orde Baru berhasil mendongkrak drastis angka
pertumbuhan ekonomi nasional sampai ke tingkat yang mencengangkan. Betapa
tidak, dalam laporan pembangunan dunia (world Development Report) 1990 yang
dibuat oleh Bank Dunia,Indonesia dijadikan contoh “model sukses”
pembangunan yang menjadi tolok ukur kinerja negara-nagara lain. Tetapi di sisi
lain, puji-pujian diatas ternyata menyisahkan berbagai persoalan
pembangunan terutama menyangkut keadilan dan pemerataan. Ketimpangan
pembangunan antara daerah Jawa dan daerah luar Jawa serta melebarnya jurang
pendapatan perkapita antar kelompok dalam masyarakat mengindikasikan
secara terang bahwa strategi pertumbuhan ekonomi dengan model pendekatan
pembangunan top down yang mengedepankan korporasi antara birokrasi,pemilik
modal dan kaum teknokrat tidak dapat memberi jaminan kesejahteraan yang
merata bagi rakyat. Strategi ini telah menjadikan pembangunan sebagai sebuah
ideologi dan menempatkan pemerintah sebagai agen tunggal pembangunan.
Masyarakat diposisikan sebagai obyek pembangunan yang dapat dimobilisasi untuk
mendukung tercapainya program pembangunan pemerintah. Akibatnya,pembangunan
menjadi salah arah,lepas dari pengawasan masyarakat serta penuh muatan
kepentingan pribadi dan kelompok. Merebaknya konflik vertikal dan
horisontal yang berpuncak pada keruntuhan kekuasaan Orde Baru adalah
bukti sejati bahwa pembangunan tanpa partisipasi masyarakat dapat menjadi “bom
waktu” bagi pemerintahan berkuasa.
Pasca keruntuhan Orde Baru, kesadaran akan perubahan strategi dan pola pembangunan mulai tumbuh. Reposisi dan refungsionalisasi masyarakat dalam pembangunan dipandang sebagai hal penting untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pembangunan. Model pembangunan yang partisipastif mulai dikembangkan pada tataran teoretis dan praktis. Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrumen hukum berupa undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah,secara substansif menempatkan partispasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial,menciptakan rasa memiliki pemerintah dan masyrakat serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas. Ada juga UU No.25 tahun2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang dijiwai oleh kesadaran penuh akan pentingnya partispasi masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan pembangunan. Selain itu, ada begitu banyak peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataaan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan,dan masih banyak lagi peraturan sektoral lainnya yang lahir dari kesadaran akan urgensitas partisipasi masyarakat.
Mengikuti arus perubahan strategi dan pola pembangunan secara nasional,Kabupaten Lembata yang terbentuk pada awal bergulirnya masa reformasi mestinya turut menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang desentralis dengan pola pendekatan bottom up. Namun bergulirnya proyek-proyek infrastruktur berskala besar dari pusat di awal tahun otonomi kabupaten sangat mempengaruhi perjalanan sistem dan strategi pembangunan Lembata selanjutnya. Di tahun awal pembangunan infrastruktur,wajah Lembata mengalami perubahan yang signifikan. Peningkatan kapasitas jalan,pembukaan jalan-jalan baru ke daerah terisolir,pembukaan jaringan pipa air mium serta pembangunan jaringan listrik menjadi catatan kemajuan di awal-awal tahun otonomi kabupaten Lembata. Di tahun-tahun selanjutnya, kemajuan-kemajuan ini ternyata mengalami hambatan dalam perkembangannya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Konsentrasi pemerintah daerah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur yang ditempuh melalui pengerjaan proyek-proyek yang cenderung berskala telah menempatkan pemerintah daerah sebagai agen tunggal pembangunan dalam korporasinya dengan pengusaha dan pemilik modal. Fungsi masyarakat diminimalisir sebatas mendukung usaha pembangunan yang dijalankan pemerintah. Akibatnya, pembangunan kemudian berjalan di luar kontrol kepentingan masyarakat.
Memasuki era kepemimpinan baru di tahun 2011 ini,penerapan strategi dan model pembangunan partisipatif dapat menjadi alternatif untuk menciptakan pembangunan Lembata yang lebih terarah ke tujuan-tujuan yang diinginkan bersama. Secara nasional, gagasan pembangunan partisipatif sebenarnya telah tampak dan berkembang mulai pertengahan tahun 70-an sejak dilontarkan pertama kali oleh Bintoro Tjokroamidjojo dan Emil Salim (M.Dawan Rahardjo,Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang,1987). Pada hakekatnya pembangunan partisipatif merupakan perpaduan antara pembangunan yang bersifat top down dengan pembangunan yang bersifat bottom up. Pembangunan partisipatif menempatkan masyarakat dan pemerintah bersama-sama sebagai subyek pembangunan yang memilki peranan aktif dan seimbang dalam seluruh tahapan pembangunan. Pembangunan partisipatif didefenisikan sebagai proses tranformasi yang luas dari masyarakat menuju kehidupan yang lebih bernilai dimana dalam proses ini terjadi kerjasama yang aktif dan seimbang antara pemerintah dan masyarakat mulai dari perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,evaluasi hingga pelestarian dan pengembangan hasil yang dicapai (Loekman Soetrisno,Menuju Masyarakat Partisipatif,1985).
Pembangunan partisipatif dipandang sebagai model pembagunan yang patut dikembangkan karena memiliki banyak keunggulan. Beberapa keunggulan diantaranya adalah bahwa model pembangunan ini dapat meningkatkan tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan,dapat meningkatkan swadaya masyarakat dan dapat menghindarkan pembangunan dari berbagai bentuk penyimpangan.
Dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan bersama pemerintah,seluruh proses pembangunan dengan sendirinya akan menjadi tanggung jawab masyarakat bersama pemerintah. Sebagai subyek pembangunan,masyarakat berperan aktif dalam seluruh proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelestarian dan pengembangan hasil pembangunan. Perencanaan pembangunan harus merupakan perencanaan bersama agar seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat dapat ditransformasi sebagai program pembangunan. Diakomodirnya aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam program pembangunan secara otomatis mengikat tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat terhadap program. Hal ini membuka jalan bagi terciptanya tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat dalam proses-proses pembangunan selanjutnya. Di dalam tahap pelaksanaan,masyarakat akan berperan aktif karena program pembangunan yang dilaksanakan merupakan jelmaan kebutuhan mereka. Demikianpun dalam tahap pelestarian dan pengembangan hasil pembangunan,tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat dengan sendirinya tumbuh karena hasil yang dicapai sesuai dengan kebutuhan dan merupakan buah keringat mereka sendiri.
Fenomena tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dalam pembangunan sebagai akibat peran sentral pemerintah telah secara perlahan menghambat tumbuhnya swadaya masyarakat. Usaha pemerintah menggalang swadaya masyarakat selama ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena masih dibatasinya kedudukan dan fungsi masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan partispatif mengedepankan penghargaan dan pengoptimalisasian kekuatan dan kemampuan masyarakat. Penempatan masyarakat sebagai subyek pembangunan bersama pemerintah memberi ruang bagi masyarakat untuk merealisasikan dan mengembangkan kekuatan serta kemampuan yang dimilikinya. Inisiatif,kreativitas serta segenap potensi yang dimiliki masyarakat akan tumbuh dan berkembang dalam kerjasama yang seimbang dengan pemerintah dalam seluruh proses pembangunan. Peran aktif masyarakat mengelolah pembangunan akan memajukan kualitas-kualitas diri yang dimilki. Pemanfaatan dan pengembangan kekuatan serta kemampuan masyarakat inilah yang pada gilirannnya akan mendorong masyarakat untuk berjuang secara otonom dalam pembangunan.
Pembangunan yang berorientasi pada pengerjaan proyek-proyek pembangunan berskala besar menghantar pilihan kebijakan pembangunan lebih sering untuk memenangkan kepentingan kaum birokrat, profesional dan pemilik modal. korporasi antara pemerintah,pemilik modal dan kelompok politik tertentu cenderung menyisihkan kepentingan masyarakat banyak dan berpotensi melahirkan penyimpangan-penyimpangan pembangunan. oleh karenanya pembanngunan yang menempatkan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat menjadi pilihan penting. Model pembangunan partisipatif menghendaki kerjasama aktif dan seimbang antara pemerintah dan masyarakat untuk mengorientasikan pembangunan kepada kepentingan masyarakat luas. Prioritas kepentingan masyarakat luas memberi landasan bagi terhindarnya penyimpangan dalam implementasi pembangunan. masyarakat memilki akses yang besar dalam proses perencanaan dan pelaksanaan serta pelestarian hasil pembangunan sehingga pembangunan selalu berada di bawah kontrol kepentingan masyarakat. Selain itu pembangunan partispatif merupakan suatu bentuk kontrol langsung masyarakat atas pembangunan. Kerjasama pemerintah dan masyarakat membuka kesempaatan bagi masyarakat untuk mengawasi langsung proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelesatarian dan pegembangan hasil pembangunan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam proses pembangunan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat sehingga berbagai penyimpangan dapat dihindari dengan sendirinya.
Gambaran keunggulan pembangunan partisipatif diatas menegaskan bahwa kecenderungan mendudukan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan membatasi fungsi masyarakat hanya dalam tahapan pelaksanaan ataupun pelestarian pembangunan akan menghantar sebuah daerah jauh dari tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat banyak. Olehnya pengembalian kedudukan masyarakat sebagai subyek pembangunan dan perluasan fungsi masyarakat dalam pembangunan menjadi syarat muthlak tercapainya kesuksesan pembanguanan sebuah daerah.
Setelah sebelas tahun berjalannya otonomi kabupaten,Lembata membutuhkan kehendak perubahan yang kuat dari semua komponen yang terlibat dalam pembangunan daerah untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi mayarakat secara benar dalam pembangunan. Pembangunan Lembata harus menjadi milik seluruh masyarakat Lembata sehingga masyarakat harus diberi tempat sebagai subyek pembangunan yang bertanggung jawab penuh atas seluruh proses pembangunan mulai dari perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,pelestarian dan pengembangan hingga evaluasi. Tanggung jawab keberhasilan pembangunan daerah ada di tangan masyarakat. Pemerintah adalah partner masyarakat dalam pembangunan daerah yang berfungsi memfasilitasi semaksimal mungkin pembangunan yang dijalankan masyarakat. Hal ini hanya dapat diwujudkan apabila adanya kemauan bersama yang kuat untuk mengembagkan model pembangunan partisipatif. Dengan pegembangan model pembangunan ini,kunci kesuksesan pembangunan diletakan diatas pundak masyarakat karena dengan partisipasinya, masyarakat bertindak sebagai subyek pembangunan yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kemana dan seperti apa pembangunan daerahnya.
Olehnya adanya sebuah peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan menjadi sangat vital. Evaluasi atas tidak tercapainya tujuan pembangunan daerah secara maksimal setelah dikeluarkannya Undang-Undang pembangunan baik umum maupun sektoral sejak bergulirnya masa reformasi merekomendasikan perlu dibuatnya Perda tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan untuk masing-masing daerah sebagai penjabaran semua undang-undang pembangunan yang ada sesuai situasi dan kondisi daerah(Tjipto Atmoko.13) Lembata dibawah era kepemimpinan baru,setelah disahkannya Perda tata ruang dan dan RPJMD,kita masih membutuhkan sebuah Perda yang mengatur tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan agar daerah memiliki instrumen hukum yang secara substansial mengatur cara dan bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Visi misi Bupati dan Wakil bupati terpilih terpilih yang diterjemahkan dalam RPJMD hanya dapat direalisasikan semaksimal mungkin apabila semua komponen terutama masyarakat memiliki dasar hukum jelas yang tentang fungsi dan kedudukannya dalam pembangunan termasuk cara dan bentuk partisipinya dalam pembangunan daerah.
Perda tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan daerah diharapkan pertama harus dapat mengatur secara baik bagaimana patisipasi masyarakat sejak proses perencanaan pembangunan karena perencanaan menjadi tahap awal yang sangat menentukan keberlangsungan proses-proses pebangunan selanjutnya. Selama ini, satu-satunya wahana yang tersedia bagi masyarakat untuk berpartispasi dalam proses perencanaan pembangunan menurut UU No.25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional adalah musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang dibuat secara berjenjang dari dusun sampai ke tingkat kabupaten. Sistem penjenjangan program dengan ketidakjelasan fasilitasi dana pemerintah daerah atas setiap usulan program pembangunan masyarakat bukan tidak mungkin telah menjadikan musrembang sebagai acara seremonial tahunan yang pada titik tertentu dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan program dan proses-proses pembangunan selanjutnya. Sistem penjenjangan program pembangunan sampai ke tingkat kabupaten adalah bentuk tidak diakuinya masyarakat sebagai subyek dalam tahapan perencanaan pembangunan. Fungsi masyarakat dibatasi hanya sebagai pengusul program dan bukan sebagai subyek perencana yang berhak memutuskan implementasi program. Dengan sistem penjejangan program, keputusan akan implementasi program masyarakat berada di tangan pemerintah daerah kabupaten dan DPRD. Hak masyarakat untuk memutuskan implementasi programnya diserahkan sepenuhnya kepada perjuangan wakilnya di DPRD karena berkaitan dengan perhitungan dan pengalokasian anggaran pembangunan daerah. Hilangnya akses langsung masyarakat untuk memutuskan kebijakan pembangunan inilah yang menyebabkan pembangunan daerah menjadi salah arah karena rentan kepentingan kelompok dan orang-perorangan.
Oleh karena itu model musrenbang yang partispatif dimana masyarakat bisa tampil sebagai subyek perencana program yang juga memiliki wewenang untuk memutuskan implementasi program pembangunan harus diciptakan. Hal ini menjadi sangat penting karena partispasi masyarakat dalam proses perencanaan menentukan ada atau tidaknya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan selanjutnya yang secara tidak langsung juga menentukan tercapainya tujuan pembangunan. Musrenbang mestinya berhenti pada tingkat terendah dalam sebuah wilayah pembangunan. Desa menjadi wilayah terakhir perencanaan program sehingga masyarakat diberi ruang untuk mengambil keputusan atas kebijakan pembangunan menyangkut dirinya dan tidak sekedar berfungsi sebagai pengusul program. Tugas pemerintah daerah dibatasi pada memfasilitasi proses lahirnya program masyarakat di tingkat desa dan memberi jaminan kapastian fasilitasi dana pembangunan untuk membantu swadaya masyarakat yang telah ada. Kepastian biaya pembangunan menjadi faktor yang sangat menentukan bagi masyarakat untuk membuat keputusan atas dapat diimplelementasi atau tidaknya sebuah program pembangunan. Olehnya sebelum musrembang sudah harus bisa dialokasikan secara pasti biaya pembangunan untuk masing-masing desa agar masyarakat dapat membuat penyesuaian dan mengambil keputusan berdasarkan kemampuannya dan fasilitasi dana pemerintah.
Terlaksananya Musrenbang yang partispatif membuka jalan bagi terciptanya partispasi masyrakat dalam proses pembangunan selanjutnya. Di dalam proses pelaksanaan,masyarakat akan dengan sendirinya berpartispasi secara penuh karena program yang dilaksanakannya adalah program miliknya yang lahir dari keputusannya sendiri. Pengawasan pembangunan oleh masyarakat-pun dengan sendiri berjalan karena dengan berpartipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan,masyarakat sebenarnya telah diberi tanggung jawab untuk mengawasi dirinya sendiri sebagai subyek pengambil kebijakan serta subyek pelaksana program pembangunan. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan oleh masyarakat adalah bentuk pengawasan langsung masyarakat. Hasil-hasil pembangunan daerah yang dicapai dengan sedirinya dilestarikan dan dikembangkan karena hasil hasi tersebut merupakan buah dari perjuangan dan keringat masyarakat sendiri.
Tahapan pembangunan yang harus lebih diperhatikan berikutnya adalah tahpan evaluasi pembangunan. Perlu dikembangkannya model evaluasi pembangunan yang tepat yakni model evaluasi partisipatoris dimana masyarakat adalah subyek evaluasi yang berhak menilai dan menentukan kebijakan perbaikan atas program pembangunan daerah yang telah dilaksanakan. Sistem evaluasi intern pemerintah yang selama ini lebih diutamakan sudah saatnya ditinggalkan karena telah mengabaikan kedudukan dan fungsi masyarakat sebagi subyek pembangunan yang berhak menentukan kebijakan-kebijakan perbaikan atas program pembangunan daerah yang telah dilaksanakan. Sistem evaluasi intern hanya perlu untuk pertanggung intern pemerintah tetapi dalam kenyataannya tidak dapat memperbaiki arah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarkat. Masyarakat seharusnya yang menjadi pelaku utama evaluasi pembangunan yang bertugas memberikan masukan atas pembangunan yang dijalankannya beserta hasil-hasil yang dicapai agar perbaikan sebuah kebijakan pembangunan benar-benar lahir dari masyarakat. Sebagai subyek evaluasi dalam dalam evaluasi partisipatoris,masyarakat dapat mengungkapkan semua hal yang dijalankan dalam pembangunan terutama menyangkut kelemahan-kelemahan. Evaluasi partisipatoris memberi keluasan bagi masyrakat untuk mengungkapkan semua kekurangan-kekuarangan pembangunan yang telah dijalankan.
Pelajaran berharga sejarah pembangunan Orde Baru mestinya juga bisa menghantar Lembata sebagai sebagai Kabupaten era reformasi kepada pembangunan yang memberi ruang penuh bagi partisipasi masyarakat. Kesadaran bersama untuk mereposisi dan merefungsionaisasi kedudukan dan fungsi masyarakat hendaknya dibangun oleh semua komponen pembangunan daerah terutama ....siapa saja boleh menambahkan pemikirannya disini disini...
Pasca keruntuhan Orde Baru, kesadaran akan perubahan strategi dan pola pembangunan mulai tumbuh. Reposisi dan refungsionalisasi masyarakat dalam pembangunan dipandang sebagai hal penting untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pembangunan. Model pembangunan yang partisipastif mulai dikembangkan pada tataran teoretis dan praktis. Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrumen hukum berupa undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah,secara substansif menempatkan partispasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial,menciptakan rasa memiliki pemerintah dan masyrakat serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas. Ada juga UU No.25 tahun2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang dijiwai oleh kesadaran penuh akan pentingnya partispasi masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan pembangunan. Selain itu, ada begitu banyak peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataaan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan,dan masih banyak lagi peraturan sektoral lainnya yang lahir dari kesadaran akan urgensitas partisipasi masyarakat.
Mengikuti arus perubahan strategi dan pola pembangunan secara nasional,Kabupaten Lembata yang terbentuk pada awal bergulirnya masa reformasi mestinya turut menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang desentralis dengan pola pendekatan bottom up. Namun bergulirnya proyek-proyek infrastruktur berskala besar dari pusat di awal tahun otonomi kabupaten sangat mempengaruhi perjalanan sistem dan strategi pembangunan Lembata selanjutnya. Di tahun awal pembangunan infrastruktur,wajah Lembata mengalami perubahan yang signifikan. Peningkatan kapasitas jalan,pembukaan jalan-jalan baru ke daerah terisolir,pembukaan jaringan pipa air mium serta pembangunan jaringan listrik menjadi catatan kemajuan di awal-awal tahun otonomi kabupaten Lembata. Di tahun-tahun selanjutnya, kemajuan-kemajuan ini ternyata mengalami hambatan dalam perkembangannya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Konsentrasi pemerintah daerah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur yang ditempuh melalui pengerjaan proyek-proyek yang cenderung berskala telah menempatkan pemerintah daerah sebagai agen tunggal pembangunan dalam korporasinya dengan pengusaha dan pemilik modal. Fungsi masyarakat diminimalisir sebatas mendukung usaha pembangunan yang dijalankan pemerintah. Akibatnya, pembangunan kemudian berjalan di luar kontrol kepentingan masyarakat.
Memasuki era kepemimpinan baru di tahun 2011 ini,penerapan strategi dan model pembangunan partisipatif dapat menjadi alternatif untuk menciptakan pembangunan Lembata yang lebih terarah ke tujuan-tujuan yang diinginkan bersama. Secara nasional, gagasan pembangunan partisipatif sebenarnya telah tampak dan berkembang mulai pertengahan tahun 70-an sejak dilontarkan pertama kali oleh Bintoro Tjokroamidjojo dan Emil Salim (M.Dawan Rahardjo,Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang,1987). Pada hakekatnya pembangunan partisipatif merupakan perpaduan antara pembangunan yang bersifat top down dengan pembangunan yang bersifat bottom up. Pembangunan partisipatif menempatkan masyarakat dan pemerintah bersama-sama sebagai subyek pembangunan yang memilki peranan aktif dan seimbang dalam seluruh tahapan pembangunan. Pembangunan partisipatif didefenisikan sebagai proses tranformasi yang luas dari masyarakat menuju kehidupan yang lebih bernilai dimana dalam proses ini terjadi kerjasama yang aktif dan seimbang antara pemerintah dan masyarakat mulai dari perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,evaluasi hingga pelestarian dan pengembangan hasil yang dicapai (Loekman Soetrisno,Menuju Masyarakat Partisipatif,1985).
Pembangunan partisipatif dipandang sebagai model pembagunan yang patut dikembangkan karena memiliki banyak keunggulan. Beberapa keunggulan diantaranya adalah bahwa model pembangunan ini dapat meningkatkan tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan,dapat meningkatkan swadaya masyarakat dan dapat menghindarkan pembangunan dari berbagai bentuk penyimpangan.
Dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan bersama pemerintah,seluruh proses pembangunan dengan sendirinya akan menjadi tanggung jawab masyarakat bersama pemerintah. Sebagai subyek pembangunan,masyarakat berperan aktif dalam seluruh proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelestarian dan pengembangan hasil pembangunan. Perencanaan pembangunan harus merupakan perencanaan bersama agar seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat dapat ditransformasi sebagai program pembangunan. Diakomodirnya aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam program pembangunan secara otomatis mengikat tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat terhadap program. Hal ini membuka jalan bagi terciptanya tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat dalam proses-proses pembangunan selanjutnya. Di dalam tahap pelaksanaan,masyarakat akan berperan aktif karena program pembangunan yang dilaksanakan merupakan jelmaan kebutuhan mereka. Demikianpun dalam tahap pelestarian dan pengembangan hasil pembangunan,tanggung jawab dan rasa memiliki masyarakat dengan sendirinya tumbuh karena hasil yang dicapai sesuai dengan kebutuhan dan merupakan buah keringat mereka sendiri.
Fenomena tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dalam pembangunan sebagai akibat peran sentral pemerintah telah secara perlahan menghambat tumbuhnya swadaya masyarakat. Usaha pemerintah menggalang swadaya masyarakat selama ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena masih dibatasinya kedudukan dan fungsi masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan partispatif mengedepankan penghargaan dan pengoptimalisasian kekuatan dan kemampuan masyarakat. Penempatan masyarakat sebagai subyek pembangunan bersama pemerintah memberi ruang bagi masyarakat untuk merealisasikan dan mengembangkan kekuatan serta kemampuan yang dimilikinya. Inisiatif,kreativitas serta segenap potensi yang dimiliki masyarakat akan tumbuh dan berkembang dalam kerjasama yang seimbang dengan pemerintah dalam seluruh proses pembangunan. Peran aktif masyarakat mengelolah pembangunan akan memajukan kualitas-kualitas diri yang dimilki. Pemanfaatan dan pengembangan kekuatan serta kemampuan masyarakat inilah yang pada gilirannnya akan mendorong masyarakat untuk berjuang secara otonom dalam pembangunan.
Pembangunan yang berorientasi pada pengerjaan proyek-proyek pembangunan berskala besar menghantar pilihan kebijakan pembangunan lebih sering untuk memenangkan kepentingan kaum birokrat, profesional dan pemilik modal. korporasi antara pemerintah,pemilik modal dan kelompok politik tertentu cenderung menyisihkan kepentingan masyarakat banyak dan berpotensi melahirkan penyimpangan-penyimpangan pembangunan. oleh karenanya pembanngunan yang menempatkan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat menjadi pilihan penting. Model pembangunan partisipatif menghendaki kerjasama aktif dan seimbang antara pemerintah dan masyarakat untuk mengorientasikan pembangunan kepada kepentingan masyarakat luas. Prioritas kepentingan masyarakat luas memberi landasan bagi terhindarnya penyimpangan dalam implementasi pembangunan. masyarakat memilki akses yang besar dalam proses perencanaan dan pelaksanaan serta pelestarian hasil pembangunan sehingga pembangunan selalu berada di bawah kontrol kepentingan masyarakat. Selain itu pembangunan partispatif merupakan suatu bentuk kontrol langsung masyarakat atas pembangunan. Kerjasama pemerintah dan masyarakat membuka kesempaatan bagi masyarakat untuk mengawasi langsung proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelesatarian dan pegembangan hasil pembangunan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam proses pembangunan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat sehingga berbagai penyimpangan dapat dihindari dengan sendirinya.
Gambaran keunggulan pembangunan partisipatif diatas menegaskan bahwa kecenderungan mendudukan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan membatasi fungsi masyarakat hanya dalam tahapan pelaksanaan ataupun pelestarian pembangunan akan menghantar sebuah daerah jauh dari tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat banyak. Olehnya pengembalian kedudukan masyarakat sebagai subyek pembangunan dan perluasan fungsi masyarakat dalam pembangunan menjadi syarat muthlak tercapainya kesuksesan pembanguanan sebuah daerah.
Setelah sebelas tahun berjalannya otonomi kabupaten,Lembata membutuhkan kehendak perubahan yang kuat dari semua komponen yang terlibat dalam pembangunan daerah untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi mayarakat secara benar dalam pembangunan. Pembangunan Lembata harus menjadi milik seluruh masyarakat Lembata sehingga masyarakat harus diberi tempat sebagai subyek pembangunan yang bertanggung jawab penuh atas seluruh proses pembangunan mulai dari perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,pelestarian dan pengembangan hingga evaluasi. Tanggung jawab keberhasilan pembangunan daerah ada di tangan masyarakat. Pemerintah adalah partner masyarakat dalam pembangunan daerah yang berfungsi memfasilitasi semaksimal mungkin pembangunan yang dijalankan masyarakat. Hal ini hanya dapat diwujudkan apabila adanya kemauan bersama yang kuat untuk mengembagkan model pembangunan partisipatif. Dengan pegembangan model pembangunan ini,kunci kesuksesan pembangunan diletakan diatas pundak masyarakat karena dengan partisipasinya, masyarakat bertindak sebagai subyek pembangunan yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kemana dan seperti apa pembangunan daerahnya.
Olehnya adanya sebuah peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan menjadi sangat vital. Evaluasi atas tidak tercapainya tujuan pembangunan daerah secara maksimal setelah dikeluarkannya Undang-Undang pembangunan baik umum maupun sektoral sejak bergulirnya masa reformasi merekomendasikan perlu dibuatnya Perda tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan untuk masing-masing daerah sebagai penjabaran semua undang-undang pembangunan yang ada sesuai situasi dan kondisi daerah(Tjipto Atmoko.13) Lembata dibawah era kepemimpinan baru,setelah disahkannya Perda tata ruang dan dan RPJMD,kita masih membutuhkan sebuah Perda yang mengatur tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan agar daerah memiliki instrumen hukum yang secara substansial mengatur cara dan bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Visi misi Bupati dan Wakil bupati terpilih terpilih yang diterjemahkan dalam RPJMD hanya dapat direalisasikan semaksimal mungkin apabila semua komponen terutama masyarakat memiliki dasar hukum jelas yang tentang fungsi dan kedudukannya dalam pembangunan termasuk cara dan bentuk partisipinya dalam pembangunan daerah.
Perda tentang partispasi masyarakat dalam pembangunan daerah diharapkan pertama harus dapat mengatur secara baik bagaimana patisipasi masyarakat sejak proses perencanaan pembangunan karena perencanaan menjadi tahap awal yang sangat menentukan keberlangsungan proses-proses pebangunan selanjutnya. Selama ini, satu-satunya wahana yang tersedia bagi masyarakat untuk berpartispasi dalam proses perencanaan pembangunan menurut UU No.25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional adalah musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang dibuat secara berjenjang dari dusun sampai ke tingkat kabupaten. Sistem penjenjangan program dengan ketidakjelasan fasilitasi dana pemerintah daerah atas setiap usulan program pembangunan masyarakat bukan tidak mungkin telah menjadikan musrembang sebagai acara seremonial tahunan yang pada titik tertentu dapat mematikan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan program dan proses-proses pembangunan selanjutnya. Sistem penjenjangan program pembangunan sampai ke tingkat kabupaten adalah bentuk tidak diakuinya masyarakat sebagai subyek dalam tahapan perencanaan pembangunan. Fungsi masyarakat dibatasi hanya sebagai pengusul program dan bukan sebagai subyek perencana yang berhak memutuskan implementasi program. Dengan sistem penjejangan program, keputusan akan implementasi program masyarakat berada di tangan pemerintah daerah kabupaten dan DPRD. Hak masyarakat untuk memutuskan implementasi programnya diserahkan sepenuhnya kepada perjuangan wakilnya di DPRD karena berkaitan dengan perhitungan dan pengalokasian anggaran pembangunan daerah. Hilangnya akses langsung masyarakat untuk memutuskan kebijakan pembangunan inilah yang menyebabkan pembangunan daerah menjadi salah arah karena rentan kepentingan kelompok dan orang-perorangan.
Oleh karena itu model musrenbang yang partispatif dimana masyarakat bisa tampil sebagai subyek perencana program yang juga memiliki wewenang untuk memutuskan implementasi program pembangunan harus diciptakan. Hal ini menjadi sangat penting karena partispasi masyarakat dalam proses perencanaan menentukan ada atau tidaknya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan selanjutnya yang secara tidak langsung juga menentukan tercapainya tujuan pembangunan. Musrenbang mestinya berhenti pada tingkat terendah dalam sebuah wilayah pembangunan. Desa menjadi wilayah terakhir perencanaan program sehingga masyarakat diberi ruang untuk mengambil keputusan atas kebijakan pembangunan menyangkut dirinya dan tidak sekedar berfungsi sebagai pengusul program. Tugas pemerintah daerah dibatasi pada memfasilitasi proses lahirnya program masyarakat di tingkat desa dan memberi jaminan kapastian fasilitasi dana pembangunan untuk membantu swadaya masyarakat yang telah ada. Kepastian biaya pembangunan menjadi faktor yang sangat menentukan bagi masyarakat untuk membuat keputusan atas dapat diimplelementasi atau tidaknya sebuah program pembangunan. Olehnya sebelum musrembang sudah harus bisa dialokasikan secara pasti biaya pembangunan untuk masing-masing desa agar masyarakat dapat membuat penyesuaian dan mengambil keputusan berdasarkan kemampuannya dan fasilitasi dana pemerintah.
Terlaksananya Musrenbang yang partispatif membuka jalan bagi terciptanya partispasi masyrakat dalam proses pembangunan selanjutnya. Di dalam proses pelaksanaan,masyarakat akan dengan sendirinya berpartispasi secara penuh karena program yang dilaksanakannya adalah program miliknya yang lahir dari keputusannya sendiri. Pengawasan pembangunan oleh masyarakat-pun dengan sendiri berjalan karena dengan berpartipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan,masyarakat sebenarnya telah diberi tanggung jawab untuk mengawasi dirinya sendiri sebagai subyek pengambil kebijakan serta subyek pelaksana program pembangunan. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan oleh masyarakat adalah bentuk pengawasan langsung masyarakat. Hasil-hasil pembangunan daerah yang dicapai dengan sedirinya dilestarikan dan dikembangkan karena hasil hasi tersebut merupakan buah dari perjuangan dan keringat masyarakat sendiri.
Tahapan pembangunan yang harus lebih diperhatikan berikutnya adalah tahpan evaluasi pembangunan. Perlu dikembangkannya model evaluasi pembangunan yang tepat yakni model evaluasi partisipatoris dimana masyarakat adalah subyek evaluasi yang berhak menilai dan menentukan kebijakan perbaikan atas program pembangunan daerah yang telah dilaksanakan. Sistem evaluasi intern pemerintah yang selama ini lebih diutamakan sudah saatnya ditinggalkan karena telah mengabaikan kedudukan dan fungsi masyarakat sebagi subyek pembangunan yang berhak menentukan kebijakan-kebijakan perbaikan atas program pembangunan daerah yang telah dilaksanakan. Sistem evaluasi intern hanya perlu untuk pertanggung intern pemerintah tetapi dalam kenyataannya tidak dapat memperbaiki arah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarkat. Masyarakat seharusnya yang menjadi pelaku utama evaluasi pembangunan yang bertugas memberikan masukan atas pembangunan yang dijalankannya beserta hasil-hasil yang dicapai agar perbaikan sebuah kebijakan pembangunan benar-benar lahir dari masyarakat. Sebagai subyek evaluasi dalam dalam evaluasi partisipatoris,masyarakat dapat mengungkapkan semua hal yang dijalankan dalam pembangunan terutama menyangkut kelemahan-kelemahan. Evaluasi partisipatoris memberi keluasan bagi masyrakat untuk mengungkapkan semua kekurangan-kekuarangan pembangunan yang telah dijalankan.
Pelajaran berharga sejarah pembangunan Orde Baru mestinya juga bisa menghantar Lembata sebagai sebagai Kabupaten era reformasi kepada pembangunan yang memberi ruang penuh bagi partisipasi masyarakat. Kesadaran bersama untuk mereposisi dan merefungsionaisasi kedudukan dan fungsi masyarakat hendaknya dibangun oleh semua komponen pembangunan daerah terutama ....siapa saja boleh menambahkan pemikirannya disini disini...
No comments:
Post a Comment